Arsitektur Menggugah Kota Malang
- Primavera Putri
- 23 Mar
- 4 menit membaca
Budi Fathony | Arsitektur Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang | Email budifathony21@yahoo.co.id
Perkembangan kota Malang khususnya telah berdiri sejak seratus tahun lalu lebih merupakan suatu asset yang dimiliki kota. Dalam perjalanan telah mengalami beberapa kali perubahan sebagai dampak dari kemajuan jaman menuntut pemenuhan kebutuhan seperti lahan, fasilitas dan elemen pendukung lainnya. Mengamati dan mempelajari perkembangan kota Malang begitu cepat karena permasalahan tidak “sekedar” kebutuhan kota, tetapi banyak bangunan lama dipugar total dan ruang terbuka hijau yang menjadi ciri khas kota telah terbangun. Konon perlu dilestarikan ternyata tidak mampu dipertahankan. Hal ini selalu terjadi dari tahun ke tahun, sudah bernasib malang kah kota Malang saat ini?
Pada awalnya kawasan stadion Gajayana kota Malang sebagai pusat oleh raga pada hakekatnya merupakan ruang terbuka hijau, namun perubahan menjadi peruntukan pusat perbelanjaan ternyata bertujuan upaya meningkatkan nilai ekonomi semata tanpa berfikir jauh kedepan dampak lingkungan fisik, apalagi dampak sosial budaya dan persaingan ekonomi makro semakin tidak terkendali. Ide dasar pembangunan Malang Olimpyc Garden pada kawasan stadion Gajayana sebagai keputusan tanpa dasar yang jelas, karena merubah tata ruang kota. Hal ini akibat masyarakat menolak keingingan investor berlindung dibalik suara birokrat membangun Alun-alun Junction (AAJ) memanfaatkan ruang terbuka hijau pusat kota Malang.
Memang tujuan pembangunan tidak sekedar memanfaatkan lahan dianggap kosong atau “belum sempat diolah dan dikelola”, adanya alun-alun pada setiap kota-kota di Jawa tidak sekedar ruang terbuka hijau namun ada konsep dasar filosofis guna manfaat tiga dimensi untuk Tuhan Yang Maha Esa, manusia dan lingkungan, sangat disayangkan konsultan selalu tidak berfikir kelanjutan bagaimana dampak sebelum dan sesudah pembangunan. Terbukti pemanfaatan ruang-ruang akibat disain tidak terpadu, karena bukti teknis “belum pernah dan tidak pernah akan dipublikasikan”, sehingga masyarakat akademis tidak mampu mempelajari informasi ilmu yang diusulkan para penentu kota dan konsultan. Peran teknis lapangan dituntut lebih teliti dalam melangkah untuk mewujudkan hasil akhir disainnya walaupun didukung dana yang lebih. Arsitektur kota sendiri menyangkut berbagai macam aspek kehidupan manusia, tetapi lebih marupakan suatu proses untuk menghasilkan suatu ide-ide yang terbaik dan diterima masyarakat sebagai penghuni kota. Beberapa pengaruh yang mendasari proses tersebut diantaranya faktor sejarah peruntukan, sosial dan budaya masyarakatnya.
Memang kita sulit untuk membedakan mana karya arsitektur yang baik dan cocok pada suatu tempat apalagi harus dipaksakan oleh kepentingan dan kekuatan tertentu “duit dan kekuasaan” memang duit itu tidak perlu tapi penting dan “kekuasaan” selalu diciptakan seakan “kuat dan angkuh”. Walaupun ada yang “menyuarakan” minimnya ruang terbuka hijau dan kota harus disediakan regulasi yang ampuh, ternyata tidak cukup kokoh untuk dipertahankan kalau para perencana berlindung di bawah payung investor, sedangkan konsultan sekedar (kongkonan sultan”istilah jawa” diperintah sultan). Celakanya permasalahan semacam ini selalu terjadi di belahan bumi tercinta Indonesia sehingga lebih cenderung gaya berdasarkan “pesanan campur paksaan” tujuan dasar adalah tuntutan ekonomi apalagi tidak sesuai dengan lingkungan geografisnya.
Perubahan kota selalu terjadi karena tuntutan “kebutuhan kota” dan kurangnya fasilitas-fasilitas penunjang kota, yang tidak mungkin untuk dihalangi. Tetapi selama penentuan fungsi lama masih sesuai dengan tata guna kawasan kota menurut RTRW dan RDTRK yang konon telah di “sah”-kan tentunya masih bisa diterima, tetapi faktanya “slogan” dan “jargon-jargon” untuk menyelamatkan asset negara hanya muncul jika ada “maksud” bahwa wajib di pertahankan (itu dulu!, jaman perjuangan) saat ini sudah jaman reformasi alias repot mencari nasi justru sengaja me”legal”kan yang “liar” dan mem”formal” kan yang non formal, apalagi proses ijin yang formalitas. Ternyata dalam pembangunan Stadion Gajayana menjadi pusat bisnis makro adalah menjadi beban lingkungan kota, penghuni kota Malang, sehingga baik dan tidak manfaat nantinya tidak sekedar dinikmati oleh golongan tertentu tetapi masyarakat tetap dan pendatang baik secara peorangan maupun bersama-sama, mengapa demikian karena kota Malang sebagai bagian dari beberapa kota di Jawa Timur menjadi primadona kunjungan setelah kota Surabaya. Seharusnya “eksekutif dan legeslatif” kota Malang ikut mengatur, membina dan membantu menciptakan iklim yang baik agar setiap proses usulan investor sesuai dengan tata ruang kota yang telah melalui proses mahal. Para pakar dan tokoh masyarakat menjadi bagian yang tidak terpisahkan untuk menentukan arah pembangunan kota Malang. Namun apa yang terjadi suara akademis tidak di dengarkan dengan baik dan sebagian tokoh masyarakat masuk dalam ranah legeslatif yang suka me”legal”kan yang tidak terkonsep dengan baik.
Setiap peraturan daerah atau peraturan pemerintah yang berupa undang-undang-pun tentunya dapat diterapkan agar tatanan sebuah kota menjadi terarah. Fakta dilapangan jajaran Dinas terkait nampak tidak kompak dan setengah hati. Sedangkan masyarakat bukan semata-mata sebagai “obyek” pembangunan, tetapi merupakan “subyek” yang berperan aktif dalam setiap pembangunan. Peran dunia usaha sebaiknya tidak sekedar “mampu” mempengaruhi penguasa kota dengan imbalan yang menggiurkan dalam waktu cepat tapi menyesatkan, apalagi memikirkan dalam jangka panjang. Keterlibatan didalam pembangunan tentu dapat menahan emosinya agar tidak selalu mampu merubah aturan-aturan main yang ditetapkan oleh pemerintah setempat. Hasil proses yang dilakukan dapat menjadi contoh yang baik bagi siapa saja, tanpa pandang yang kuat dan lemah.
Saat ini kota Malang kehilangan ciri kota dengan hadirnya Grand design, yang banyak diciptakan oleh para arsitek profesional untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tertentu, sedangkan karya arsitek yang menganut aliran folk tradition, justru untuk mempertahankan aspek-aspek tradisional yang menjadi ciri khas kota dan lingkungan serta jatidiri masyarakatnya telah hilang. Peran akademisi ternyata masih dipandang sebelah mata, dipromosikan jika ada kepentingan sesaat agar nampak bahwa kota Malang sebagai kota Pendidikan tetapi tidak berjalan dengan pola pembelajaran yang baik, suara rakyat terasa tidak menguntungkan bagi masyarakat yang telah terlanjur memilih, LSM-pun ternyata dianggap kelompok yang hanya mampu mengkritik dan penentang.
Kenyataan masyarakat dibuai mimpi pada produk apapun mulai dari kebutuhan sandang, pangan dan papan yang dikemas mewah menjadi gaya hidup baru. Sebagian besar masyarakat kita hanya mampu menjadi penonton walaupun setia setiap saat. Keterbukaan dalam proses yang mencoba mengakomodasi sebanyak mungkin pandangan dan pendapat masyarakat banyak, masih jauh dari kenyataan selalu saja ada masalah. Meskipun akan dapat memperlama proses dibanding sebelumnya, akan tetapi mempunyai arti yang sangat penting untuk antisipasi masalah yang akan timbul dikemudian hari. Perkembangan arsitektur kota Malang saat ini berkembang maju tanpa arah, identitas kota tinggal 20%, ruang terbuka hijau tinggal 2,8%, para konsultan arsitektur dan kota keluar dari kode etik keilmuan karena kopi paste, apakah ini jadi pembelajaran yang baik bagi para arsitek dan planolog muda? mereka yang lagi mencari identitas, ataukah ini sebuah fenomena baru?, kota Malang tidak pernah tidur selalu jadi perhatian para pialang duit dan dolar, masyarakat terbuai mimpi indah.
10 March 2012 by iplbi
Comments