top of page

Membaca Kembali Warisan Budaya Secara Progresif

Agus S. Ekomadyo, Staf Pengajar Arsitektur Institut Teknologi Bandungemail: aekomadyo00@gmail.com

Artikel ditulis sebagai Pengantar Buku Arsitektur Tradisional Aceh, yang ditulis oleh Riza Aulia Putra (2018) – sedang dalam proses penerbitan




“Homo ludens”, manusia adalah makhluk yang bermain. Perkenalan awal penulis dengan Semiotika awalnya juga main-main. Pertengahan 1990-an, Semiotika mulai menjadi “trending topics” dalam diskusi-diskusi oleh mahasiswa aktivis ITB, dengan seorang dosen muda FSRD yang membawakannya sekembali dari studi masternya di Inggris. Seolah lewat Semiotika, penampilan nyleneh para aktivis kampus mendapat pembenaran ilmiah, karena di situ sebenarnya para aktivis sedang membuat suatu “tanda”.


Keseriusan mendalami Semiotika mulai mendapat kesempatan ketika penulis melanjutkan jenjang studi magister dan mengikuti mata kuliah pilihan “Desain dan Kebudayaan” yang diampu sendiri oleh Pak Yasraf, dosen pembawa “virus” Semiotika yang telah disebut di atas. Di situ penulis mulai serius mendalami bagaimana arsitektur bisa disebut sebagai bahasa dan tanda-tanda (Jencks, 1978, Sudrajat, 1992). Bahkan, beberapa pemikir Arsitektur Indonesia mencoba menggunakan metode Semiotika untuk membaca tanda-tanda dalam Arsitektur Nusantara, seperti Goronto Passura pada Arsitektur Toraja (Wiryomartono, 1992), dan Petungan dalam Arsitektur Jawa (Prijotomo, 1992). Penulis sendiri kemudian mencoba “bermain-main” dengan Semiotika untuk mengurai sistem tanda “Sengkalan Memet” dalam Arsitektur Jawa (Ekomadyo, 1999).


Mungkin karena dianggap hanya permainan, Semiotika kemudian ditinggalkan oleh para arsitek, antara karena ada wacana baru yang lebih menarik untuk dijelajahi, seperti dekonstruksi dari Derrida atau relasi kuasa dari Foucault. Namun tidak bagi Pak Yasraf dan para pegiat studi kebudayaan di dalam lingkaran di sekelilingnya. Bagi kelompok ini, Semiotika tetap dihidupkan, karena dianggap bisa menjadi sarana membaca tanda-tanda dari fenomena kebudayaan yang diminati untuk dikaji secara lebih tajam. Bahkan kelompok ini membentuk forum khusus bernama Forum Studi Kebudayaan dan produktif dalam memproduksi aneka pengetahuan tentang kebudayaan dan menyebarluaskannya kepada publik. Dari aneka diskusi dan produksi pengetahuan ini, maka posisi Semiotika dalam domain Cultural Studies menjadi lebih didudukkan dengan lebih jelas (Piliang, 2010; Piliang dan Jaelani, 2018).


Ketika Riza menyodorkan Semiotika sebagai pendekatan untuk proposal Tesis Desain dengan kasus fasilitas kebudayaan di Aceh, menyetujuinya merupakan pilihan beresiko bagi penulis. Apakah Semiotika akan mampu membawa Riza untuk mempelajari budaya Aceh lewat telaah tanda-tanda, dan merangkaikan kembali ke dalam desain yang baru, dalam batasan waktu dan energi pada kerangka tesis magister yang harus selesai dalam 1 semester? Apakah Semiotika akan membantu, atau justru menyulitkan mahasiswa? Mengingat, Semiotika arsitektur sudah lama ditinggalkan, jadi tidak banyak referensi yang menjadi rujukan untuk menilai keberhasilan desain dengan pendekatan Semiotika ini. Namun adanya hubungan dekat penulis dengan kelompok FSK termasuk pak Yasraf, membuat kami berani untuk melanjutkan menggunakan Semiotika untuk pendekatan tesis desain. Artinya, selain referensi-referensi yang diproduksi, ada banyak teman yang legitmate untuk ditanya tentang Semiotika jika nanti Riza tersesat atau argumentasi-argumentasinya babak belur. Selain itu, sudah ada mahasiswa yang sebelumnya telah “berani” menggunakan pendekatan bahasa dan Semiotika secara khusus untuk tesis desain mereka dan mendapatkan nilai terbaik, yaitu Ariency Kale Manu (2012, 2014) untuk membaca budaya Nusa Tenggara Timur dan Tyas Santri (2014) untuk membaca budaya Cirebon. Artinya, sudah ada kajian terdahulu yang menjadi referensi Riza untuk lebih serius menggunakan pendekatan Semiotika untuk tesis desainnya.


Riza mempresentasikan proposalnya dengan mambawa langsung buku Semiotika dan Hipersemiotika : Gaya, Kode dan Matinya Makna karangan pak Yasraf, buku yang juga kemudian dimiliki oleh penulis. Selagi ada mahasiswa yang bisa “dimanfaatkan” sebagai teman diskusi tentang teori-teori yang mendalam, sesuatu yang semakin langka dalam dunia akademis kita, penulis memanfaatkan momentum ini untuk mempelajari lebih dalam tentang Semiotika. Pada saat yang bersamaan, penulis mendapat kesempatan berdiskusi intensif dengan para pegiat Forum Studi Kebudayaan. Dalam berbagai diskusi itu terlihat ada warna lain dalam melihat Budaya lebih dari sekadar tradisi dari etnis tertentu. Budaya tidak lagi sekadar dilihat dari konstruksi untuk melestarikan nilai-nilai luhur dari masa lalu, tetapi bagaimana sekelompok masyarakat membangun nilai-nilai untuk suatu perjuangan tertentu.


Dari sinilah, penulis mulai mengenal lebih dalam tentang “cultural studies”


Cultural studies bisa disebut muncul sebagai kajian tentang Budaya dalam masyarakat modern. Jika perspektif budaya dalam arus “pelestarian” mempunyai semangat memperjuangkan tradisi untuk tetap bertahan dalam pengaruh Modernisme, Cultural Studies justru melihat ada budaya yang terbangun dalam masyarakat modern. Awalnya para pendiri Cultural Studies menaruh perhatian terhadap budaya yang terbangun dalam masyarakat pekerja industri, kemudian berkembang menjadi kajian terhadap budaya yang diproduksi oleh industri. Cultural Studies kemudian berkembang luas dengan melihat fenomena budaya kontemporer dengan melibatkan banyak disiplin, seperti linguistik, antropologi, sosiologi, seni, sastra, jurnalistik, arsitektur, dan lainnya: sering disiplin tersebut hadir dengan tumpang tindih. Meskipun bisa bersifat multidisiplin, bahkan transdisiplin, ada beberapa ciri khas dalam perkembangan cultural studies, yaitu: cultural studies bertujuan menguji praktik budaya dan relasinya terhadap suatu kekuasaan tertentu; cultural studies bukan sekadar studi tentang budaya, tetapi memasukkan kompleksitas dari konteks sosial politik yang membentuk budaya tersebut; cultural studies punya dimensi intelektual sekaligus pragmatik; cultural studies berusaha merekonsiliasi pengetahuan tacit (intuitif, berbasis budaya lokal) dengan pengetahuan objektif (yang universal); dan cultural studies berkomitmen pada evaluasi moral pada masyarakat modern (Sardar dan Loon, 1997:9).


Semiotika menjadi salah satu andalan dalam Cultural Studies karena kemampuannya dalam membongkar tanda-tanda budaya yang diciptakan suatu kelompok masyarakat tertentu. Piliang (2018) mencoba memetakan kajian Semiotika ke dalam dua domain, yaitu Semiotika Struktural, yang melihat tanda sebagai sebuah sistem, struktur, dan relasi, dan memberikan perhatian pada kode, konvensi, dan aturan main yang disepakati; dan Semiotika Sosial, yang melihat penggunaan tanda-tanda oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Semiotika Struktural, yang mencoba mencari makna akhir melalui telaah struktur kode dari tanda, kemudian mendapat kritikan karena tidak membuka ruang bagi kreativitas pembacaan tanda, dan kemudian melahirkan arus Semiotika Postruktural yang melihat relasi tanda tersebut bukan sebagai makna yang tetap (being) tetapi yang sebagai suatu proses menjadi (becoming). Perkembangan Semiotika pun semakin meluas, dari awalnya digunakan untuk membaca tanda (decoding) juga menjadi metode untuk menciptakan tanda (encoding), dan ini banyak digunakan dalam disiplin seni, desain, dan arsitektur.


Tesis Riza yang mencoba menggunakan Semiotika untuk membaca kembali Arsitektur Aceh sebenarnya dimaksudkan untuk “membongkar” tanda-tanda dalam Arsitektur Aceh dan merekonstruksinya dalam “tanda-tanda” yang baru sebagai bahan perancangan arsitektur. Maka decoding Arsitektur Aceh dilakukan dengan tujuan tertentu,  yaitu untuk nanti meng-encoding-nya kembali dalam bentuk-bentuk baru yang dirancang.Dalam bahasa sederhana, Riza sebenarnya membaca pesan-pesan dalam Arsitektur Aceh yang lama dan menyajikannnya kembali dalam bentuk Arsitektur Aceh yang baru. Tesis ini lebih menggunakan Semiotika Struktural, bukan Semiotika Sosial. Ketika melakukan decoding Riza lebih banyak menggunakan Semiotika Strukturalis, tetapi ketika melakukan  encoding Riza mencoba untuk bermain-main secara lebih kreatif, meski belum sepenuhnya berhasil, dengan pendekatan poststrukturalis. Pak Yasraf, yang hadir sebagai penguji dalam sidang akhir Riza, memberikan pujian akan kerja keras Riza dalam menggunakan metode Semiotika untuk melakukan decoding dan warisan arsitektur Aceh dan men-encoding tanda-tanda yang berhasil diurai dalam wujud desain yang baru.


Berbeda dengan ilmuwan kemanusiaan pada umumnya, disiplin arsitektur , sebagaimana disiplin teknologi dan rekayasa, berorientasi pada membuat sesuatu. Arsitek, sebagaimana desainer pada umumnya, ada karena ia bekerja membuat sesuatu untuk menyelesaikan masalah tertentu. Seperti diungkapkan oleh  Nigel Cross (1982), misi utama disiplin desain adalah mencari kecocokan (appropriateness), berbeda dengan disiplin humaniora yang berorientasi pada keadilan (justice).Jika selama ini Cultural Studies lebih berorientasi pada perjuangan untuk membaca relasi kuasa, dan ujung-ujungnya pembelaan terhaadap mereka yang terpinggirkan, mungkinkah Cultural Studies bisa juga digunakan oleh para desainer untuk membuat sesuatu? Meskipun tidak secara eksplisit, banyak desainer, (termasuk arsitek atau engineer) membuat tanda-tanda dalam menciptakan sesuatu, dan bisa dikaji secara Semiotika sebagai ilmu tentang tanda. Mungkinkah akan ada aliran baru Semiotika dan cultural studies bagi kalangan praktisi seperti desainer, arsitek, dan engineer? Karena pada praktiknya, para desainer bekerja tidak lepas dari relasi kuasa, karena relasi kuasa tersebut yang menentukan produknya bisa jadi dan dimanfaatkan oleh orang lain secara lebih luas. Bedanya, relasi kuasa dari desainer tidak dilihat pada dominasinya, melainkan bagaimana disiasati (lewat prinsip kecocokan) agar produk yang dirancang bisa bermanfaat dengan efektif untuk pengguna. Ketika kemanfaatan ini menjadi reputasi dari desainer, maka negosiasi dengan pemegang kekuasaan yang lain menjadi niscaya dalam suatu proses desain.


Namun lebih jauh dari sekadar Semiotika dan Cultural Studies, tesis Riza ini bisa ditempatkan dalam upaya besar pemajuan budaya Indonesia. Ada permasalahan kejumudan budaya, ketika suatu norma-norma budaya digunakan oleh masyarakat, awalnya digunakan untuk menjaga nilai-nilai sosial, namun kemudian berdampak pada larangan-larangan untuk membuat bentuk-bentuk baru karena dianggap melanggar norma sosial tersebut. Ini yang menjadikan upaya pengembangan budaya lokal menjadi tidak inovatif jika hanya dilakukan oleh masyarakat dan pada lokasi budaya setempat tersebut, karena sering relasi-relasi sosial tersebut melahirkan retensi untuk perubahan karena dianggap berbeda dengan yang sudah ada. Diperlukan upaya untuk melihat budaya dari luar entitias sosial pemilik budaya tersebut. Selain Riza, beberapa mahasiswa Aceh pada Program Magister Arsitektur ITB mencoba membaca kembali budaya Aceh dengan menggunakan ilmu pengetahuan modern, seperti Zulhadi Sahputra (2013) yang mengujicobakan Geometri Fraktal untuk mendekomposisi ragam hias Aceh, Saiful Anwar (2016) yang menggunakan pendekatan place untuk menemukenali peran meunasah dalam sebuah Gampong Aceh, atau Qisthi Sabrina (2016) yang menggunaan pendekatan Metafora Arsitektur untuk menafsir aspek puitis Tari Saman Gayo untuk perancangam sekuens fasilitas bandar udara. Ketika mendapatkan kesempatan belajar di luar locus masyarakat Aceh, mereka bisa lebih kreatif dalam membaca kembali nilai-nilai budaya lokal yang ikut membentuk dirinya.


Membimbing mahasiswa-mahasiswa Aceh tersebut membuat penulis jadi banyak belajar tentang budaya Aceh. Ada proses dialog yang menarik ketika dasar-dasar pengetahuan modern yang dimiliki penulis dihadapkan pada pengetahuan dan nilai-nilai Budaya aceh yang dibawa Riza dan teman-temannya di atas.  Mereka belajar untuk membaca kembali warisan budaya mereka dengan lebih ilmiah dan terstruktur, sebaliknya basis ilmiah dan struktur yang terbangun membuat penulis belajar tentang budaya Aceh dengan lebih utuh. Di sini desain arsitektur bukan sekadar proses penyelesaian masalah secara kreatif semata, tetapi menjadi proses belajar secara sosial karena melibatkan beberapa pihak (Dorst, 2003).


Namun apakah perjuangan Riza di bangku sekolah akan berlanjut di dunia nyata? Pengantar ini, dengan menyertakan misi Cultural Studies, tentu memberikan harapan bahwa tesis ini tidak berhenti dalam bentuk buku, tetapi mampu mempengaruhi masyarakat Aceh untuk membaca kembali warisan budayanya dengan lebih progresif. Dari sinilah sebuah temuan akademis akan diuji kemanfaatannya, karena akan bersinggungan dengan banyak kepentingan ketika akan diimplementasikan. Di situ isu relasi kuasa kembali relevan, karena pengetahuan hadir dalam masyarakat tidak melalui ruang hampa, namun hadir dalam ruang dengan banyak hasrat dan kepentingan. Penggunaan Semiotika diharapkan tidak berhenti sampai di sini, tetapi juga bisa lebih dilanjutkan pada kajian Cultural Studies untuk membaca bagaimana artifak-artifak budaya Aceh dikonstruksi dalam relasi kuasa sehari-hari. Salah satu misi “cultural studies” adalah membaca dan mengembangkan “perjuangan budaya”. Setelah Semiotika, ke depan Riza dan kalangan intelektual, dengan cara berpikir progresif yang dimilikinya, mampu membaca kembali nilai-nilai luhur budaya Aceh dan mempengaruhi masyarakat untuk menggunakannya dalam upaya perjuangan untuk kemajuan bersama.


Bandung, 8 Mei 2018


Referensi


  1. Anwar, S., dan Ekomadyo, A.S. (2016). Peran Meunasah Sebagai Tempat Membangun Keterikatan  Masyarakat Aceh Dalam Sebuah Gampoeng. Seminar Nasional Kearifan Lokal dalam Arsitektur dan Lingkungan Binaan. Universitas Sumatra Utara, Medan, 27-28 Januari 2016

  2. Cross, N. (1982). Designerly Ways of Knowing, Design Studies. Vol.3 No.4 October 1982

  3. Dorst, K. (2003). Understanding Design: 175 Reflection on Being Designer. Bis Publishers,Sydney

  4. Ekomadyo, A.S. (1999). Pendekatan Semiotika terhadap Arsitektur Tradisional Nusantara. Kasus: Sengkalan Memet pada Arsitektur Jawa”. Seminar Naskah Arsitektur Nusantara: Jelajah Penalaran Arsitektural. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh November, September 1999.

  5. Jencks, C. (1978). The Language of Post-modern Architecture. London: Academy Editions.

  6. Manu, A.K.A. (2012). Transformasi Motif Tenun Ikat Nusa Tenggara Timur pada Perancangan Museum. Bandung : Program Magister  Arsitektur Institut Teknologi Bandung

  7. Manu, A.K.A. (2014 ). Metode Coding Motif Tenun Ikat Nusa Tenggara Timur Menuju Arsitektur Yang Berempati. Simulasi Desain: Museum Tenun Ikat Nusa Tenggara Timur Seminar Nasional Merah Putih Ruang dan Tempat dalam Latar Merah Putih, Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta – Lembaga Sejarah Arsitektur Indonesia, Mei 2014

  8. Piliang, Y.A. (2010). Semiotika dan Hipersemiotika : Gaya, Kode dan Matinya Makna. Bandung : Matahari

  9. Piliang, Y.A., dan Jaelani, J. (2018). Teori Budaya Kontemporer: Penjelajahan Tanda dan Makna. Yogyakarta: Aurora

  10. Prijotomo, J. (1992). “Model Semiologika Petungan di Primbon Jawa dan Signifikasi Arsitekturalnya”. Seminar Semiotika. Jakarta: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya dan Lingkaran Peminat Semiotik

  11. Sahputra, Z., Ekomadyo, A.S., Indraprastha, A., Lukman M. (2013). Revitalizing Local Ornaments: Aceh Ornaments Transformation by Using Digital Technology for Contemporary Architecture Design” (Penulis Pendamping). Senvar 2013, Syahkuala University, Banda Aceh, November 2013

  12. Santri, Tyas. (2014). Transformasi Motif Batik Cirebon di Trusmi dengan Pendekatan Semiotika untuk Arsitektur Museum Batik. Bandung : Program Magister  Arsitektur Institut Teknologi Bandung

  13. Santri, T., dan Ekomadyo, A.S. (2014). Rajutan Budaya dalam Arsitektur dan Motif Batik Cirebon di Kampung Batik Trusmi. Seminar Nasional Merah Putih Ruang dan Tempat dalam Latar Merah Putih, Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta – Lembaga Sejarah Arsitektur Indonesia, Mei 2014

  14. Sardar, Z., dan Loon, B.V. (1997). Introducing Cultural Studies. Totem Books

  15. Shabrina, Q. (2016). Metafora Tari Saman Gayo Dalam Perancangan Arsitektur Bandara: Studi Kasus Bandara Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh. Bandung: Program Studi Magister Arsitektur Institut Teknologi Bandung

  16. Sudradjat, I. (1992). “Perkembangan Semiotik dalam Arsitektur: Sebuah Tinjauan Kritis”. Seminar Semiotika. Jakarta: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya dan Lingkaran Peminat Semiotik.

  17. Wiryomartono, B.P. (1992). “Goronto Passura: Masalah Ideografik dalam Tradisi Toraja”. Seminar Semiotika. Jakarta: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Lingkaran Peminat Semiotik


25 January 2020 by iplbi


Postingan Terakhir

Lihat Semua

Comentarios


bottom of page