Pembangunan, Manusia Indonesia, dan Petualangan Pinokio
- Rachma Safa Aulia
- 1 Apr
- 11 menit membaca
Indah Widiastuti KK Sejarah Teori dan Kritik Arsitketur SAPPK, Staf Pengajar Mata Kuliah Etika Pembangunan, Prodi Magister Studi Pembangunan
Dipresentasikan pada acara talkshow “Future Challenge”, Homecoming Alumni Magiser Studi Pembangunan, SAPPK ITB, 8 Desember 2018, Gedung CRCS ITB.
Makalah versi pdf: Widiastuti – Pembangunan Manusia Indonesia dan Pinokio
[1]
Segala bentuk pertanyaan mengenai tantangan pembangunan Indonesia di masa depan, menurut saya, tak dapat sekedar dijawab secara teknis oleh sederetan pernyataan-pernyataan, tanggapan-tanggapan teknikalitas, dan pragmatika-pragmatika penyelesaian masalah yang bersifat menghilangkan dampak luarannya. Bagi saya pribadi permasalahan pembangunan di Indonesia perlu dijawab oleh sebuah kesadaran akan sebuah kompleksitas kebolehjadian yang unik secara holistik.
Secanggih apapun teknologi, dia adalah logos; sepraktis apapun teknik, dia bukanlah techne. Secerdik apapun akal pikiran, ia tak berbanding lurus dengan sebuah kesdaran (consciousness), dan “kebebasan memilih” tak selalu berkorelasi dengan “kehendak”. Seringkali kebebasan memilih yang terlalu absolut menyebabkan kita semakin tidak tahu apa yang menjadi kehendak hakiki. Euforia teknologi kerap hanya menjadikan kita lebih sibuk dengan simbol-simbol baru, kode-kode baru lewat peralatan baru, bahkan istilah-istilah baru yang membuat seseorang merasakan halusinasi “progress”, meski pada kenyataanya, tidak ke mana-mana. Gadget menjadi bukti betapa sulitnya membedakan antara sarana efisiensi dengan berhala atau belenggu dalam teknologi informasi. Kerinduan akan kepastian batiniah itu nyata, namun pengertian-pengertian seperti agama, religiusitas, spiritualitas, dan kebajikan kerap digunakan secara tidak tepat. Sebagai akibatnya sulit bagi kita untuk membedakan antara sistem keyakinan dengan ideologi. Teknologi, rumus-rumus pembangunan, sistem-nilai bertebaran seperti “kata-kata” dalam ruang-ruang kehidupan manusia Indonesia dan dibaca secara bebas oleh mereka yang hidup bersamanya, dengan nalar-nalar sesaat yang karenanya di segala akhirnya kerap tak membekaskan apa pun. Istilah-istilah seperti “business as usual”, “semua itu kan hanya proyek”, “kegiatan untuk menghabiskan anggaran”, Standard Operating Procedure, menjandi bukti bahwa segala bentuk kecanggihan, kebaruan, kenyamanan, dan sebagainya hanyalah teks-teks yang dihadirkan oleh sebuah mesin interpretasi dan kreasi, baik itu berbasis ekonomi, politik, agenda komunitas, atau pesan sponsor industri, untuk tak sekedar diselesaikan – tanpa makna apa-apa.
Saya merasa perlu menmyampaikan hal tersebut di atas, karena saya kerap mempertanyakan apa gerangan yang disebut dengan “perubahan” dan “kestabilan”. Mungkinkah ada sebuah kerangka yang lebih fundamental, majemuk yang melandasi kedua istilah itu. Perubahan teknologi, perubahan iklim, termasuk dinamika sosial dan ekonomi – apakah ia mencerminkan kemajuan? Sebuah cerminan progress? Ataukah sekedar sebuah bukti bahwa segala sesuatu yang hidup di dunia ini akan terus berubah, disukai atau tidak. Seringkali pada akhirnya cerita-cerita mengenai teknologi baru tak lebih dari sekedar kisah mengenai teks-teks baru yang mengejawantah di tengah manusia, namun tak selalu memperbaiki narasi-narasi kemanusiaan dalam tubuh manusia tersebut. Nah, baru di atas permasalahan ini lah berbagai isu-isu seperti lingkungan hidup atau ekologi, kemanusiaan, heterogenitas, kemandirian dan keadilan dalam berbagai kasus, persitiwa dan kerangka pikir berdiri didefinisikan lalu dibahas dan dicarikan tanggapan atau pemecahannya. Sungguhlah berat, karena permasalahan tersebut membuat kita ibaratnya harus bercakap-cakap dengan bahasa yang seringkali tidak kita kenali, tidak tepat pemaknaan harfiahnya, atau tidak ajeg. Dan secara metaforik itu sudah terjadi – pada bahasa alay, bahasa prokem, bahasa wikipedia- dalam praktek kebahasaan sehari-hari. Hebatnya, manusia Indonesia memiliki kecepatan tinggi dalam menginterpertasikan segala hal – tidak harus ke arah yang benar – tepatnya ke arah yang dibutuhkan. Sebagai pilihan memang sah bagi kita untuk melakukanya. Namun pertanyaanya mendasarnya: “mau dibawa ke mana?”
Teknologi kian canggih, batas batas teritori menjadi berkurang relevansinya, setiap orang bebas untuk menguasai apapun yang dinginkanny, tapi lalu kemana setelah ini?
Dalam hal ini saya mencoba melihat permasalahan mendasar yang mendasari pertanyaan mengenai tantangan pembangunan Indonesia kedepan adalah tentang manusia – manusia pelaku pembangunan, manusia Indonesia pengguna produk pembangunan, manusia yang memikirkan pembangunan, yaitu: bagaimana manusia dan kemanusiaan didefinisikan. Bagaimana manusia Indonesia akan didudukkan di atas peta kemanusiaan global; dan bagaimana mana korelasi antara masa depan teknologi dengan masa depan kemanusiaan di Indonesia.
[2]
Untuk membahas lebih lanjut izinkan saya meminjam sebuah model yang justru saya pinjam dari komik masa kecil saya, yaitu Petualangan Pinokio karya dari penulis Italia Carlo Collodi sebagai metafora tentang perkembangan, pertumbuhan kemanusiaan di hadapan berbagai tantangan yang seolah selalu berambisi untuk berupaya melakukan transformasi.
Pinokio adalah sebuah boneka marionette yang dibuat dari kayu yang biasa digunakan sebagai kayu bakar. Pinokio meruapakan karya pertukangan yang halus dan rapih dari seorang “pandai kayu” Gepetto, dihidupkan oleh “kehendak” untuk memiliki seorang putra yang kemudian di-amin-kan oleh Peri Biru, dan dilengkapi oleh “kesadaran” berupa pertemanan dengan seekor jangkrik – Jimminy the cricket- yang dipilih oleh sang peri. Sebelum tiba pada Gepetto, kayu bahan boneka marionette adalah sebuah kayu yang secara misterius pula memiliki kehendaknya pula, dan berpindah tangan dari banyak penukang kayu sebelum akhirnya kayu itu tiba dan berproses di tangan Gepetto.
Boneka kayu Pinokio menjadi sebuah cerminan setengah manusia dari kayu, yang dibentuk oleh “kejeniusan kreasi”, “kehendak sebuah pembuatan”, dan “kesdaran akan keterbuatan” makhluk. Dalam perjalanan cerita, interaksi antara tiga fakultas pembentukan kemanusiaan tersebut tercermin pada dinamika interaksi Geppetto, Pinokio, dan Jimmy. Kemanusiaan itu sendiri terbentuk dan berproses melampaui sekian banyak fase transformasi seiring interaksi Pinokio dengan dunia luar.
Ada fase ketika kemanusiaan seseorang masih dalam bentuk potensialitas, buah dari proses kreasi yang kreatif. Segala bentuk potensialitas manusia yang melekat pada dirinya. Manusia ini mungkin hidup, mungkin bernafas dan makan, namun ia belum memiliki kesadaran dna kehendak. Keberlanjutannya sangat tergantung pada “kejeniusan kreasi” yang terakumulasi membentuk gagasan mengenai : kearifan lokal, pengetahuan lokal, tradisi-tradisi, sejarah, lembaga pendidikan, dan habitus, orang tua, termasuk juga sistem-sistem peralatan, dan semiotikanya.
Saya pikir hingga taraf ini manusia Indonesia mampu selalu melengkapi dirinya baik secara individual dan kolektif, untuk menjadi sebuah daya kreasi yang kuat – termasuk di dalamnya penguasaan pada teknologi, kemampuanya menyerap dan belajar. Sistem-sistem di luarnya juga cukup memanjakan dengan berbagai aplikasi dan kemudahan akses. Namun pertanyaan mendasarnya, setelah sekian banyak kecanggihan yang dihasilnya: apakah manusia Indonesia akan menjadi boneka kayu yang bebas? Atau manusia yang penuh dengan beban? Teknologi yang melekat padanya atau dilekatkan padanya, akan menjadikannya lebih manusiawi? Atau menjadi boneka yang kian canggih yang membanggakan untuk sekedar dimiliki atau dipamerkan?
Setelah memperoleh “kesadaran”, “kehendak”, dan “kejeniusaan, Pinokio sebagai sebuah karya kreatif dari pembuatnya, materialitasnya, dan konteksnya, mulai mandiri: hidup tanpa tali seperti kebanyakan boneka marionette. Pinokio, sekalipun masih merupakan boneka kayu, sudah memperoleh status sebagai “anak” – sebagai tubuh yang mengandung potensialitas keberlanjutan kemanusiaan – yang dikelola dan diperbaharui secara terus menerus (lewat “kesadaran”, dan “kehendak”, “kejeniusaan kriya tubuhnya”). Dengan kelebihan ini, Pinokio tidak mengalami progress secara serta merta. Bahkan kita bisa terus mempertanyakan: sejauh mana progress itu dibutuhkan? Apakah progress itu adalah tujuan? Atau resiko?
Keunikan mulai mewacana lewat interaksinya dengan dunia luar, yang kemudian membentuk kearifan yang mendasari kemampuannya belajar dan menerima konteks dan medium hidupnya: sang Geppeto memperkenalkan wahana lain di luar rumahnya, yaitu sekolah. Demikianlah , di setiap masa di sepanjang sejarahnya manusia hadir sebagai “tubuh” yang dibentuk secara internal oleh ketiga fakultas kemanusiaan dan secara eksternal dari kehidupan di luar dirinya. Dalam kisah Pinokio, sekolah adalah tujuan perjalanannya di luar rumah yang ternyata tak pernah dicapainya, karena disepanjang perjalanan itu ia bertemu dengan oknum-oknum (sang kucing dan rubah) yang terus menerus mengalihkan secara manipulatif perhatiannya ke arah-arah lain. Di luar inilah “kejeniusan” tubuh Pinokio tetap dan terus memukau, namun dua fakultas lainnya – kesadaran dan kehendak- terabaikan. Nafsu untuk tampil dan kenaifannya terhadap kontak, membuatnya terus dibohongi, hingga suatu saat ia terperangkap awalnya di panggung, dan kedua kalinya di Pulau Stromboli. Kenaifan dan kekanak-kanakan membuatnya dua kali tergelincir ke arah manipulasi simulakra atas semua potensialitasnya, dan keunikannya.
Demikianlah saya melihat konsep pembangunan, progress, teknologi canggih, dana bantuan, dan skema-skema progresif lanya. Di mata kemanusiaan dan kemasyarakatan, semua adalah bagian dari kompleks kehadiran yang potensinya bisa membangun dan menjadikan Pinokio “manusia mandiri dan hidup” seperti yang dicita-citakan dirinya dan sang Gepetto, atau sebagai keledai yang bodoh, kehilangan suara, otonominya, dan keunikan dan identitasnya. Dalam konteks inilah, saya melihat inovasi, pengetahuan, teknologi baru, sarana-sarana canggih semata-mata sebagai sebuah kemunculan di horison keseharian manusia. Keunggulan maupun mudaratnya sangat tergantung pada bagaimana semua itu berdampak pada kemajuan maupun kemunduran manusia dan kemanusiaan.
[3]
Ketakutan akan carut marut di Indonesia, membuat saya kerap mengandaikan Indonesia sebagai “the Pleasure Island”, sebuah dunia simulakra yang dikelola Stromboli dan disponsori kekuatan kapital yang demikian kuat di balik layar, yang sanggup mengorbankan apapun demi tercapainya keinginan sepihaknya. Ke dunia Stromboli di Pleasure Island inilah Pinokio beserta teman sekolah anak-anak sebayanya digiring masuk, dibiarkan menikmati pertunjukan inovasi yang canggih, yang ajaib, dan bebas. Dunia tempat anarki, destruksi, dan totaliterianisme menjadi benar. Kenikmatan, keterpukauan, dan kesenangan menjadi semacam sihir yang justru membuat anak-anak itu abai atau kehilangan semua bentuk kelebihan yang bahkan belum sempat sepenuhnya disadari. Otonomi sebagai pusat dari kemerdekaan manusia, dan keunikan sebagai pembeda yang unik hilang di Stromboli-land ini.
Mungkinkah teknologi-teknologi canggih, sistem-sistem yang rumit, skema-skema progresif yang dirancang tanpa kesadaran akan keunikan dan otonomi kemanusiaan, berkembang menjadi sebuah skema pembangunan yang membawa keberkatan? Atau hanya membuat manusia justru kian jauh dari hal-hal yang sesungguhnya menjadi bagian paling intim darinya: kesadaran, nilai-nilai, dan toleransi kemanusiaannya? Mungkinkah Revolusi Industri 4.0 akan memiliki arti bagi manusia Indonesia yang tidak sepenuhnya sadar atau kehilangan otonomi, dan keunikan dirinya, bangsanya, dan geografi asalinya?
Indonesia dengan penduduk lebih dari 262 juta jiwa di tahun 2017 dan pertumbuhan penduduk 1,46%, dengan sendirinya adalah negara berkapital utama: “Manusia!”. Demografi Indonesia semestinya adalah modal pembangunan paling berkelanjutan kita. Seberapa jauh alat pembangunan kita akan mengoptimalkan potensi ini? Sampai sejauh mana instrument pembangunan, perkembangan teknologi terkini, akan mampu menjadikan potensi ini sebagai Social Capital?
Belajar dari berbagai permasalahan di seputar isu-isu perpecahan, intoleransi antar pemeluk agama, isu-isu SARA, kebiasaan baru hoax, manajemen yang tidak tepat guna, kelompok separatis, korupsi, ketidakadilan, menjadi bukti bahwa manusia, penduduk, keseimbangan gender, dan aset demografis lainnya menjadi lini ketahanan lingkungan yang paling rentan, dan kesalahan tatakelola berpotensi memicu perpecahan. Padahal potensi yang semestinya dapat dibangkitkan dari manusia-manusia ini adalah kemampuannya swa-organisasi untuk menjadi fusi, penguatan potensi kesatuan, dan kebersamaan.
Saya pribadi berpendapat, efek-efek pembangunan yang justru malah kian menjauhkan manusia Indonesia dari potensialitas aslinya, dari kehendak aslinya, dari kesdaran mendasarnya, dari kolektivitas harapan untuk maju bersama, adalah gejala yang saya sebut Mekanisme Stromboli – di mana segala bentuk kemajuan, kecanggihan, dan keluasan capaian yang dihasilkan tidak konstruktif dalam membangun otonomi kemanusian, kebudayaan, dan peradaban sendiri, dan tidak memproduksi kesdaran-kesadaran baru yang lebih bijak. Mungkin ekonomi bebas merupakan pencetus mekanisme Stromboli efek ini? Ataukah konsep-konsep globalisasi – seperti MEA- yang dihadapi tanpa denyut kesadaran dan kehendak manusiwai akan menjadi sang sebuah “wilayah simulakra” yang akan menelan mentah-mentah potensi demografi kita? Dan sebagaimana halnya sebuah dunia simulakra, sebuah dunia yang dibentuk berbagai wewayangan, apapun bisa didefinisikan dengan rangkaian kata-kata, fakta-fakta, cerita-cerita yang mungkin pasti ada tapi diksrit. Pengertian inti menjadi ilusif, keraguan pada esensi, ketidak percayaan pada akar, hadir bukan sebagai kesadaran yang cerdas yang kemudian menemukan artikulasinya pada teori-teori jaringan dan rhizomatik, namun nafsu-nafsu kosong yang menemukan sandarannya pada kata-kata yang ditemukan pada teori-toeri tersebut. Di sinilah krisis kemanusiaan menurut saya menjadi sangat kritis, seiring pemiskinan filosofis, dari segala wacana nilai-nilai, kesadaran, dan otonomi kemanusiaan.
[4]
Apakah efek Stromboli ini sudah terjadi di Indonesia? Bisa ya, bisa tidak. Namun bagi saya pribadi, sudah! Atau setidaknya sudah ada dalam perjalanan proses pembentukanya. Ketika akhirnya Pinokio menyadari kesalahanya, alam masihlah baik. Berkat bantuan sang Peri Biru, akhirnye Pinokio barhasil melepaskan diri dari sekapan Stromboli, ia bebas dan kembali mencari ayahnya, Gepetto. Namun setibanya di di rumah, Pinokio mendapati rumah itu sudah kosong, Gepetto sudah tak ada di rumah, rumah tempatnya dilahirkan telah menjadi rumah yang ditinggalkan.
Akan selalu ada sesuatu momentum, setelah seseorang melakukan perjalanan jauh untuk menjelajah, berupaya maju dan meninggalkan tradisi-tradisi lama dan sejarahnya -apalagi bila perjalanan itu menjadi traumatis-, ia akan berupaya “pulang” kembali ke titik awal. Dan sering kali, ketika semangat kembali itu tiba, sejarah, tradisi, kebudayaan, dunia asali, dan rumah itu sendiri justru yang telah meninggalkanya. Rumah itu menjadi kehilangan relevansi untuk ditinggali, tradisi lama pun menjadi obsolete. Pada saat itu, Pinokio tidak lalu tertambat duduk di rumah kosong itu, menunggu Gepetto kembali. Pinokio pun beranjak mencari, meninggalkan rumah untuk pergi ketempat yang jauh yang lebih tak diketahui lagi. Langkah radikal kerap dilakukan bukan karena efek heroik dari sebuah keberanian, tapi karena beberapa kondisi asali tidak ditemukan, tapi dicari di tempat-tempat yang tak terduga.
Pinokiopun berlari hingga tepi jurang dan terjun ke tepi laut – “the abyss”- mencari semangat asalinya (sang Gepetto) yang ternyata berada di dalam lambung Monstrous, sang ikan paus raksasa dan purba, di dasar laut terdalam dan tergelap. Ini metafora sisi gelap dari tradisi dan kebiasaan, sisi lampau dari sejarah, belenggu status quo yang tak menghasilkan apa-apa. Monstrous si Paus menjadi ibarat sang Kala, dewa waktu dari tradisi Hindu yang menandai dewa kematian, menelan yang usang satu demi satu. Momentum Pinokio berhasil membebaskan Gepetto, adalah momentum diri dalam membebaskan semangat asali dan tradisi lama dari masa lalu, sebuah re-invention akan keaslian (ingenuity) yang baru atau original position yang baru. Proses ini pula yang mengantar Pinokio – sang boneka kayu – bertransformasi jadi manusia.
[5]
Pinokio bagi saya adalah model kemanusiaan yang terbentuk oleh kejeniusan tubuh dan diri, kesadaran, dan dorongan kehendak diri. Dalam menghadapi carut marut dunia di luar tubuh, sang diri ini (baik sebagai individu, tubuh kolektif, masyarakat, komunitas, hingga bangsa) harus terus menerima lingkungan pelingkupnya sebagai sebuah ekologi yang selalu berubah dari satu fase-ke fase berikutnya. Perubahan ini tidak sekedar merujuk pada perbedaan fisik dan teknik yang terjadi, namun perubahan karakter yang terbentuk lewat jaringan antar elemen dalam dirinya, dan perubahan karakter ikatan yang dibentuknya bersama dunia di luar dirinya. Dengan demikian segala bentuk perkembangan, perubahan, transformasi, atas nama inovasi, kreativitas, radikalisasi, peminjaman teknologi dan sebagainya, sebaiknya tidak dilihat sebagai sesuatu yang terjadi di luar tubuh. Menurut hemat saya kita bisa melihat manusia bukan sebagai modifier modern dari lingkungan masa kini. Tidak, manusia tidaklah sehebat itu. Ekologi masa kini pun menjadi alasan terbentuknya manusia seperti apa yang kini kita alami, selain juga manusia sebagai penyebab ekologi hadir seperti ini. Manusia, kemanusiaan, alat dan sarana hidup, naungan, lembaga tradisi dari lokalitasnya kini, adalah hasil bentukan dari konstelasi timbal balik antara manusia, kemanusiaan, alat dan sarana hidup, naungan, lembagam tradisi dari lokalitas itu sendiri.
Maka ekologipun adalah sesuatu yang selalu dilahirkan terus menerus, dipelajari untuk dikenali semua faktor peubahnya secara objektif, supaya subjek diri ini bisa mengenali pola evolusinya. Ekologi dan manusia ternayata saling membentuk. Kini kita hidup di “ekologi junk-food dan media sosial”, kini kita hidup di ekologi yang “diduga” akan menjadi wadah “revolusi industri 4.0”, tapi apakah kita siap menjadikannya sebagai ekologi 4.0? Akankah kita menjadi manusia 4.0, dengan kemanusiaan 4.0?
Atau kita justru akan menjadi warga dunia global yang menyaksikan hilangnya relevansinya ruang dan waktu dalam keseharian, dengan dalih “breaking the boundary, real time, unified time and space”. Sementara dalam ritual keseharian masyarakat tradisional yang dianggap berada di luar cakupan industri apapun, malah lebih mampu menjadikan kekinian ruang dan waktu yang mengglobal sebagai bagian keseharian mereka lewat konsep-konsep seperti “ruwatan bumi”, “manunggaling kawula lan gusti”, hingga istilah jejaring antar bangsa/pulau tradisional kuno: Nusantara. Kini kita hidup ketika jumlah penyakit meningkat seiring kian canggihnya ilmu kedokteran, korupsi juga meningkat justru seiring peningkatan geliat kelembagaan agama.
Di setiap fasenya, seorang manusia-Pinokio sebagai potensialitas kemanusiaan berubah, dari sebuah kemungkinan boneka kayu, menjadi potensialitas kehidupan boneka kayu, menjadi konsekuensi pilihan ketika hidungnya memanjang akibat perbuatannya, menjadi tawanan panggung ketika Pinokio ada dalam kereta Stromboli, lalu menjadi keledai kebodohan di pulau kesenangan “the pleasure island”. Pada akhirnya pembangunan bukan sekedar terjadi demi peningkatan kesejahteraan manusia, namun di saat yang sama sebagai sebuah agenda perubahan dari proses kemanusiaan untuk memasuki tatanan lain yang dianggap lebih baik – sebuah tatanan lebih baik yang kerap menjadi tujuan, padahal justru merupakan tatanan konsekuensial dari angan-angannya sendiri. Faktanya, manusia lebih siap menghadapi tatanan dunia baru sebgai sebuah mimpi akan hari esok yang leih baik, namun tak siap berhadapan pada fakta bahwa tatanan tersebut bisa jadi merupakan sebuah gambaran kelam simulakra yang dibuatnya sendiri.
Dengan demikian , perbincangan mengenai inovasi, teknologi, teknik, dan pragmatika teknologi bagi pembangunan semestinya baru merupakan aspek mendetail dari permasalah yang lebih besar lagi: mau dibawa kemana manusia Indonesia dengan semangat 4.0 ini? Basis ekologi apa yang digunakan untuk merumuskan perubahan-perubahan baik dalam konsep pembangunan? Kemanusiaan seperti apa yang ingin dihadirkan dalam ekologi baru ini? Seberapa jauh ekologi baru ini telah disiapkan?
Lalu seperti apakah Ekologi Milenial?
Apapaun itu, beranikah sebelumnya kita menjadi si manusia-Pinokio yang terjun ke laut menghampiri pertanyaan-pertanyaan paling menakutkan mengenai diri, pencarian melelahkan di dasar samudra gelap, menghampiri kengerian, ngarai terdalam (the abyss) ketidak-tahuan dari diri, dan tantangan masa depan yang berskala monster si Paus Monstrous, untuk sekedar untuk menemukan/ mengenali kembali sang Gepetto – gambaran ekologi yang dahulu pernah membentuknya – sebelum ia bertransformasi menjadi Pinokio si bocah yang utuh sebagai manusia yang akan merancang ekologinyaJ
Bandung, 8 Desember 2018
31 December 2018 by iplbi
Comments