Sejenak Riset Partisipatif di Pasar Kosambi Bandung
- Rachma Safa Aulia
- 1 Apr
- 3 menit membaca
Agus S. Ekomadyo, Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan ITB, aekomadyo00@ gmail.com
Download file pdf: Ekomadyo (2018) – Sejenak Riset di Pasar Kosambi
Saya paling senang bila diminta mengantar berbelanja ke pasar. Di situ saya bisa mengamati pasar secara partisipatif, berperan sebagai pengantar yang berbelanja, sehingga bisa mencerap suasana secara lebih dekat namun tetap bisa mengambil jarak agar bisa membangun cerita. Kali ini di Pasar Kosambi, pasar di Bandung yang jadi “trending topic” di kalangan ibu-ibu yang musti menyiapkan seragam anaknya saat akan masuk sekolah. Di pasar ini, ada beberapa “brand” yang terkenal secara informal, misalnya toko “Resko”, dan diikuti oleh nama-nama lain yang mirip, seperti “Riska”, “Restu”, dan “Risma”. Pasar ini menjadi sangat ramai oleh aktivitas penyediaan seragam: bukan hanya baju, tetapi aktivitas meng-kustomisasi-nya sesuai kebutuhan konsumen lewat tangan-tangan (dan mesin) para penjahit. Ramainya aktivitas ini menciptakan suasana yang khas, dalam bahasa arsitekturnya “place”, namun bukan suasana rekreatif seperti yang digambarkan dalam gambar-gambar presentasi arsitektur. Mungkin para konsumen, seperti istri saya, tidak dalam suasana rekreatif di pasar ini, lebih tepatnya suasana buru-buru seiring irama pendaftaran masuk sekolah. Wajah-wajah “sumringah” justru terlihat pada para tukang jahit, meski ribet melayani konsumen tetapi fenomena tahunan ini akan memberi dampak buat rejeki mereka.
Persis sebelum menuju ke Pasar, saya sempat membaca buku “Lefebvre for Architect”. Meskipun dia seorang sosiolog, tepatnya filsuf sosial, tetapi dia peduli dengan praktik arsitek (bukan hanya arsitektur), sehingga pemikiran-pemikirannya pun banyak dirujuk oleh para arsitek. Buat Lefebvre, Arsitek berperan penting karena reformasi sosial akan tergantung dari reformasi spasial (Coleman, 2015:23). Ohoy, space, ruang. Arsitek banget. Maka penjelajahan saya ke Pasar Kosambi pun melihat bagaimana ruang-ruang membingkai sosial di sini.
Masuk ke pasar Kosambi, kita disambut sosok bangunan besar, namun terasa senyap dan dingin. Berbeda dengan bangunan-bangunan komersial lain yang berwajah “ramai” berisi pesan-pesan komoditas yang dijual. Selain area tekstil yang ramai, beberapa jengkal dari situ adalah suasana lorong-lorong pasar yang sepi. Satu pedagang makanan dengan cerdik mengakali kesenyapan desain pasar dengan membuka dinding losnya, dan bertemu dengan cahaya, yang membuat warungnya tidak terlalu pengap untuk tempat makan dan nongkrong. Beberapa tulisan di harian Kompas pada tahun tanggal 29 Juni 2006 dan 16 Desember 2006 memberikan gambaran mengapa suasana kesenyapan cukup dominan dirasakan pada ruang-ruang di pasar ini. Jadi teringat argumen Donna Duerk mengapa pemrograman arsitektur menjadi penting dengan mengambil contoh kegagalan Pruitt Igoe (Duerk, 1993:1).
Untunglah di depan pasar dibangun jalur pedestrian yang luas. Lumayan untuk membingkai wajah pasar. Sebelumnya, area muka Pasar Kosambi punya citra semrawut. Adanya jalur pedestrian ini mengubah citra itu. Adanya elemen fisik mengubah perilaku orang untuk lebih tertib dalam menggunakan ruang-ruang publik. Sangat mungkin orang-orang ini tidak mendapat pengetahuan tentang ruang publik, tetapi adanya elemen fisik arsitektur “memaksa” mereka untuk menghargai ruang publik. Sama seperti pengendara motor yang memperlambat laju kendaraannya ketika melintasi polisi tidur; belum tentu maksudnya untuk menghormati anak-anak yang suka menggunakan jalan untuk bermain; bisa jadi karena motivasi melindungi shokbreaker; tetapi objek teknis mampu memaksa pengendara ini untuk “menghormati” orang-orang yang menggunakan jalan untuk aktivitas sehari-hari (Latour, 1999:186).
Sebenarnya arsitektur bisa berperan dalam melakukan perubahan sosial, lewat desain artifak-artifak teknis. Namun, mengapa, ya, permasalahan nyata di masyarakat seperti pasar belum mampu memobilisasi peran arsitek? Padahal arsitek bisa berperan sebagai agen pemajuan budaya: dengan pengetahuan desain yang dimilikinya bisa berperan dalam membuat perubahan yang lebih baik di masyarakat. Atau karena ilmu Arsitektur di Indonesia adalah produk impor, sehingga sering terjadi kesenjangan antara ilmu yang berkembang dengan realitas dan kebutuhan masyarakat? Tetapi bagaimana, ya, caranya untuk memasukkan realitas permasalahan di masyarakat ke dalam pendidikan arsitektur?
Referensi:
Duerk, D. P. (1993). Architectural Programming. Van Nostrand Reinhold, New York.
Coleman, N. (2015). Lefebvre for Architects. Routledge, Oxon
Latour, B. (1999). Pandora’s Hope: Essays on the Reality of Science Studies. Harvard University Press, Cambridge, MA.
24 July 2018 by iplbi
Comments